TEMPO.CO, Jakarta - Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok resmi bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Staf Ahok yang juga merupakan calon legislator dari PDIP, Ima Mahdiah mengatakan Ahok sudah menjadi kader partai banteng dua hari setelah bebas dari penjara. "Sejak 26 Januari 2019," kata Ima kepada Tempo, Jumat malam, 8 Februari 2019.
Baca: Ahok Jadi Kader PDIP Dua Hari Setelah Keluar Penjara
Ima mengatakan Ahok masuk PDIP atas keinginan sendiri, bukan karena ajakan. Kata dia, mantan Gubernur DKI Jakarta itu sudah menghadap Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sesaat setelah keluar dari penjara, 24 Januari. Jumat hingga Ahad ini, Ahok berkunjung ke DPD PDIP Bali bersama sejumlah petinggi DPP PDIP.
Kabar Ahok merapat ke PDIP pun sebenarnya sudah tersiar lama. Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat menyebut Ahok sudah lama ingin bergabung dengan partainya.
"Dia berkehendak, ya saya bilang boleh. PDIP kan partai terbuka, jadi siapa pun boleh masuk asalkan tetap setia ke Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan konstitusi," kata Djarot, yang juga mantan wakil Ahok di DKI ini pada Januari lalu.
Bergabung ke PDIP menjadi babak pertama perjalanan politik Ahok setelah bebas dari penjara. Namun, sebelum divonis bersalah atas kasus penistaan agama pada Mei 2017, karir politik Ahok sudah dimulai sejak lebih satu dekade lalu.
Berikut perjalanan politik Ahok sebelum akhirnya bergabung ke partai banteng.
1. Masuk Politik Lantaran Kesal terhadap Birokrasi
Pria kelahiran Manggar, Belitung Timur, 29 Juni 1966 ini terjun ke politik lantaran kesal dengan birokrasi yang berbelit. Ahok merasakan kekesalan itu saat menjadi pengusaha di Belitung Timur.
Dikutip dari ahok.org, sebagai pengusaha di tahun 1995 ia mengalami pahitnya berhadapan dengan politik dan birokrasi yang korup. Pabriknya ditutup karena ia melawan kesewenang-wenangan pejabat. Sempat terpikir olehnya untuk hijrah dari Indonesia ke luar negeri, tetapi keinginan itu ditentang ayahnya. Sang ayah mengatakan, satu hari rakyat akan memilih Ahok untuk memperjuangkan nasib mereka.
Dikenal sebagai keluarga yang dermawan di kampungnya, ayah Ahok, Kim Nam, memberikan ilustrasi. Jika seseorang ingin membagikan uang satu miliar kepada rakyat masing-masing Rp 500 ribu, uang itu hanya akan cukup dibagi untuk 2.000 orang.
Namun jika uang tersebut digunakan untuk berpolitik, maka jumlah uang di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bisa dikuasai untuk kepentingan rakyat. Dalam berbagai acara talk show, tak jarang Ahok menceritakan ajaran sang ayah yang menginspirasinya itu.